Setelah berbulan-bulan
Aini menyisakan uang jajannya yang sedikit ke dalam celengan tanah liat, tiba
juga saatnya untuk memecahkannya. Prang! Dengan sedih Aini memandang pecahan
celengan tanah liatnya dan uang logam yang berserakan di lantai. Uangnya belum
banyak, karena uangnya sering diambil jika ada keperluan. Dengan hati-hati,
diambil-lah kepingan-kepingan logam itu. Ada tujuh lembar uang kertas, sisanya
logam lima ratus dan seratus rupiah. Sambil Aini memunguti uangnya, mulutnya
tak henti menghitung. Setelah selesai, Aini mendesah kecewa dan sedih karena
uangnya tidak lebih dari lima puluh ribu! Lalu Aini meletakkan uangnya di
mangkuk plastik.
Dengan uang segitu Aini
tidak bisa membeli mukena baru. Padahal, mukenanya belum diganti hampir dua
tahun dan sudah jelek, ukurannya sih masih cukup dibadan Ainin. Dulu ibunya
sengaja membelikan yang lebih besar dari tubuh Aini. Kata ibu “Aini cepat
tumbuh besar. Jadi daripada nanti mukenanya cepet kekecilan ditubuh Aini, lebih
baik kebesaran dan bisa dipakai sampai Aini besar nanti. Tapi, ibunya meninggal
sebelum Aini tumbuh besar. Masalahnya Aini belum pandai mencuci, tangannya yang
masih kecil tidak kuat menggosok dan membilas pakaian. Kalau Bapak yang mencuci
paling-paling hanya merendam baju-baju di air sabun, setelah beberapa lama
pakaiannya langsung diperas tanpa digosok dan dibilas, lalu langsung dijemur.
Bukannya seluruh pakaian makin bersih, tapi justru semakin tidak bersih. Begitu
pun mukena Aini, warnanya tidak lagi putih bersih. Bagaimana tidak, ainai memakainya
lima kali dalam sehari, kalau harus dicuci biasanya sesudah subuh sehingga pada
waktu zuhur mukenanya sudah kering. Tapi kalau musim hujan berbeda lagi, Aini
terpaksa memakai sarung dan kain yang dijadikan kerudung besar agar semua aurat
tertutup rapat.
Dua hari lagi bulan
puasa, dan besek malam mulai shalat tarawih itu artinya Aini dan kawan-kawan
akan menjalani rutinitas malam yang menyenangkan. Tahun lalau Aini berhasil
shalat tarawih sebulan penuh, bulan puasa memang selalu menyenangkan bagi Aini.
Kadang Aini berbuka bersama temannya bahkan pernah juga sahur bersama
teman-temannya. Tapi bulan puasa kali ini lain, Aini tidak terlalu antusias
menyambutnya, soalnya mukena Aini sudah jelek. Aini malu memakainya apa lagi
jika berjejer dengan teman-temannya, pasti kelihatan banget perbedaannya.aini
ingin sekali membeli mukena baru, tapi sayangnya tabungan Aini tidak cukup
banyak. Aini memutar otak, apa yang harus dilakukannya? Masa tidak pergi
tarawih hanya karena malu?
Gadis manis yang sedang
bingung itu duduk merenung sambil tak henti berfikir. Meminta uang pada Bapak
rasanya tak tega. Aha! Sebuah ide bagus hadir diotak Aini. Ya, Aini bisa
mendapatkan mukena putih bersih tanpa harus membelinya. Cukup dengan membeli
pemutih pakaian dijamin mukena Aini putih cemerlang.
Dengan semangat Aini
mengucek-ngucek mukenanya, sudah berulang kali Aini menggosok dan membilas
mukena itu. Udara pagi yang masih dingin tidak dihiraukannya karena ia sudah
terbiasa mencuci mukena setelah subuh. Langkah terakhir adalah mencelupkan
mukena ke larutan pemutih.
“Oke, deh.” Aini bicara
sendiri saking semangatnya. Ia siapkan ember berisi air yang sudah dicampurkan
pemutih.
“Bismillah!” serunya
sambilmencelupkan mukenanya ke dalam ember.
“Yah.. harus ditunggu
sampai berapa menit ya?” desah Aini kecewa, karena di botol itu tidak
disebutkan dengan rinci aturam pemakaiannya.
“Hemm.. mungkin sepuluh
menit cukup.”
Buru-buru Aini masuk
rumah melihat jam dinding. Sepuluh menit berlalu, Aini mengangkat mukenanya.
“Kok warnanya tidak
berubah ya? Mungkin Aini kurang lama merendamnya. Kali ini, kau kuberi waktu
setengah jam!“ gadis itu kembali merendam mukenanya dan berlalu menuju kamar
mandi.
Sehabis mandi, Aini
kembali melihat mukenanya, tetap saja warnanya tidak berubah. Yah, memang agak
terang tapi Cuma sedikit! Apa boleh buat usaha Aini sudah maksimal. Akhirnya
Aini memutuskan untuk melakukan usaha terkhirnya. Ia akan mencuci mukenanya
sekali lagi. Gadis manis itukembali menaburkan sabun, kemudian menggosok
mukenanya, kali ini dengan ekstra tenaga dari tangan kecilnya. Srek!
“Oh, tidak!” serunya
cemas.
Ia bentangkan mukena itu
dengan tangannya. Tubuh Aini lemas, cairan bening menetes satu-satu dari
matanya yang sayu. Setelah menjemur mukena putih tuanya yang sobek, Aini
langsung menuju kamarnya, menelungkup di kasur, dan langsung menangis
tersedu-sedu.
“Loh , Aini kenapa
menangis?” Bapak membuka pintu kamar Aini dan heran melihat putri satu-satunya
itu sedang menangis. Bapak menghampiri Aini lalu duduk di tepi kasur dan
mengelus rambut Aini.
“Ayo, dong katakan pada
Bapak, apa sih yang membuat anak Bapak jadi sedih seperti ini?” Aini
membalikkan badan dan menggelengkan kepalanya.
“Besok kan puasa, Aini
kok malah sedih?” tanya Bapak sabar, “biasanya Aini yang paling bersemangat.
Nanti malam sudah tarawih loh.”
“Justru itu pak.” Aini
tak tahan juga untuk bicara. “Aini malu tarawih . mukena Aini sedah
jelek. Warnanya sudah putih tua.” Kata Aini sambil menahan tangis.
“Ha ha ha…” Bapaknya
malah tertawa. “Ada-ada saja kamu ini. Mana ada warna putih tua?”
“Ada!” seru Aini.
“Mukena Aini putih tua. Dibilang putih, engga. Dibilang cokelat, bukan. Kuning
juga engga. Apa lagi kalau bukan putih tua. Modelnya sudah ketinggalan zaman.
Sudah jarang yang pakai mukena terusan selain ibu-ibu dan nenek-nenek!” Aini
mengomel menumpahkan semua kekesalannya.
Bapak manggut-manggut.
“Aini kan malu shalat di
masjid. Teman-teman yang lain mukenanya bagus-bagus.”
“Loh, punya Aini juga
berwarnakan?” tanya Bapak. “Tadi Aini bilang, mukena Aini berwarna putih tua.”
“Bapak!” Aini mencubit
lengan Bapaknya. “punya Sri dan Nenden warnanya merah dan biru muda. Pokoknya
bagus sekali. Coba deh, Bapak bayangkan kalau Aini shalat berjejer dengan
mereka.”
Bapak mendongak, berlaga
sedang membayangkan sesuatu.
“Kebayangkan pak, mukena
Aini paling jelek?”
Bapak manggut-manggut.
“menurut bayangan Bapak,” ujar Bapak, “ mukena Aini memang yang paling jelek.”
“Tuh kan?”
“Modelnya juga paling
kuno.”
“Memang!”
“Kalau ada kontes mukena
idaman, sudah pasti Aini kalah.”
“Bapak!”
Bapak tersenyum.
“Untunglah Allah tidak menilai shalat Aini dari model dan warna mukena.”
Aini tertegun.
Bapak benar! Aini jadi maulu sendiri sudah ngomel-ngomel sendirian. Tentu saja
Allah tidak akan mengurangi pahala Aini gara-gara shalat memakai mukena putih
tua. Walaupun warnanya sudah kusam, mukena Aini selalu bersih dari najis.
“Nanti kalau Bapak punya
uang, akan Bapak belikan mukena baru untuk Aini .”
Pipi Aini langsung
memerah. Aini sudah menduga Bapak akan beling begitu.
“Tidak usah pak. Aini
akan beli dengan uang Aini sendiri kalau tabungan Aini sudah cukup.”
“Semalem Aini memecahkan
celengan ya?”
Aini mengangguk
“Uangnya untuk beli
mukena?”
Aini mengangguk kembali.
“Tapi tidak cukup.”
“Berapa uang Aini dari
celengan itu?”
“Hampir lima puluh ribu.”
“Wah, Cuma kurang
sedikit lagi dong!”
Aini nyengir. “Tapi
sudah berkurang buat beli pemutih.”
“Bapak bangga dengan
usahamu nak. Kita memang harus selalu berusaha keras. Tapi tentu saja, jangan
terlalu memaksakan diri.”
Aini tersipu malu.
Terbayang tadi bagaimana ia terlalu semangat mencuci sampai robek.
“Hemm… begi saja,” ujar
Bapak. “Uang kamu disimpan dulu. Besok kita mulai lagi menabungnya. Siapa tahu
minggu depan atau dua minggu lagi, kita bisa membeli mukena baru untukmu.”
Aini mengangguk bahagia,
karena di hatinya kini telah tertanam satu pelajaran berharga. “Terima kasih
Pak.” Aini memeluk leher Bapaknya.
“Tapi setidaknya anak
Bapak sudah lebih pandai mencuci.”
“Bapak juga harus
belajar mencuci dong. Agar pakaiannya tidak Cuma direndam sembentar trus
langsung dijemur!”
“Waduh, anak Bapak tambah galak
saja ternyata. iya nanti Bapak belajar nyuci.”
Aini sudah menjahit robekan
pada mukenanya dengan rapih, untung saja robekannya di bagian yang terpencil
jadi tidak terlalu mencolok. Tentang warna, ya tentu saja putih walaupun putih
tua, tapi Aini sudah tidak malu memakai mukenanya waktu tarawih. Justru lebih
memalukan kalau tidak tarawih gara-gara mukena putih tua.
“Ainiii…”
Nah, itu teman-teman
Aini sudah datang, menjemput Aini untuk shalat tarawih bersama-sama di masjid.